Waktu kecil, Ayah sering bilang: "Jangan pergi sendirian, nanti kamu hilang". Untuk waktu yang lama sekali, saya mematuhinya—sampai saya belajar, ada beberapa ‘hilang’ yang harus dialami dengan sadar, dan ‘sendirian’ hanyalah gema kecil dalam gelombang makna tanpa akhir.
***
Ilustrasi “Room for Oneself” oleh Faishal Digdoyo
Beberapa tahun mengikuti perkuliahan arsitektur, hal yang berulang kali diminta kebanyakan tutor untuk dibuat adalah ruang komunal. Belum pernah ada yang mengingatkan saya untuk membuat lorong, ceruk, atau sekadar sudut kecil untuk orang-orang yang pada waktu tertentu tidak begitu menginginkan kesempatan bertemu orang lain.
Sesungguhnya, saya tidak berhenti mengagumi bagaimana frasa ‘zoon politicon’ (makhluk sosial) dari Aristoteles dijunjung tinggi sampai hari ini. Tidak ada keraguan terhadap pernyataan itu. Tetapi, banyak orang yang tampaknya tidak mengingat ungkapan lain yang berbunyi: homo homini lupus—manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Tanpa mendiskreditkan antonimnya, banyak dari orang yang berpengaruh merupakan mereka yang sering menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri (sejak Carl Jung pada tahun 1920-an, orang-orang menyebut fenomena ini sebagai introversi). Beberapa di antaranya yakni yang dari merekalah kita mengetahui teori relativitas (Albert Einstein) dan menikmati manfaat turunannya, mempelajari sihir dengan petualangan mendebarkan (J. K. Rowling), mengagumi rima dalam buku anak-anak (Theodor Seuss Giesel), dan sejumlah nama lain yang akan membuat narasi ini kedengaran seperti gerakan persuasif berjudul “MARI MENJADI INTROVER DAN MENGUBAH DUNIA!”. Padahal, bukan.
Secara umum, di abad ke-20 (ketika grafik kelahiran meningkat pesat) semakin banyak orang yang pindah ke kota. Orang-orang dari kedua lingkungan ini telah lama saling mengenal. Baik bagi pendatang maupun yang menetap, konon, inilah masa-masa monumental ketika manusia harus berinteraksi dengan orang-orang yang sama sekali asing. Budaya yang awalnya berfokus pada kualitas karakter di ruang privat, seketika berubah menjadi kepentingan penampilan di ruang publik. Ledakan besar ekosistem bisnis menekan semua orang untuk memberi impresi pertama yang mengesankan, mengaburkan garis antara personality dan commodity—atau bisa jadi, menghapus garis itu sama sekali.
Perubahan ini kemudian membuat institusi-institusi penting yang kita miliki—sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja—dirancang untuk para ekstrover yang membutuhkan stimulan dalam jumlah banyak. Semua ruang adalah tempat untuk melihat dan dilihat. Di dalam kotak pepat ini, keinginan untuk menyingkir sebentar jadi semacam anomali—setitik nila dalam belanga susu. Lantas, selain pintu, jendela, dan perangkat pembatas fisik sejenis, apa yang sebetulnya pernah dilakukan arsitek dan arsitektur dalam menciptakan kebutuhan orang-orang untuk bertemu diri sendiri?
Centraal Beheer Office dari perspektif mata burung dan potongan isometri yang memperlihatkan tatanan ruang dalamnya. Sumber gambar: www.architectuul.com ; www.archjourney.org
Centraal Beheer Office Building barangkali merupakan salah satu dari sedikit contoh bangunan pelopor yang tidak hanya memenuhi kebutuhan sosial penggunanya, namun juga menjanjikan batasan. Dengan dimensi 9x9m2, setiap modul ruang yang mampu menampung sampai sepuluh orang ini ditumpuk, dijajarkan, dan ditarik-tekan hingga menghasilkan site-plan yang rapi dan jelas dalam memisahkan ruang-ruang komunal dan privat. Orang-orang bisa memilih kapan waktu yang tepat untuk memperlihatkan diri atau tidak sama sekali—setidaknya dengan karyawan di luar ‘modul’ mereka.
Sementara itu di institusi pendidikan, terutama pada masa-masa awal pertumbuhan anak, kurikulum yang ada cenderung menginginkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain, seolah-olah itulah yang akan mereka lakukan seumur hidup mereka nanti. Padahal, kita sama-sama tahu, jauh setelah hari ini—terlepas dari konsep agama dan konstruksi sosial—diri mereka sendirilah satu-satunya yang bisa dan perlu diajak bicara.
Torelli dan Durrett menggambarkan kondisi umum di institusi pendidikan dasar dengan cukup mengerikan sekaligus nyata: Jan (seorang guru di kelas anak-anak) membawakan dua keranjang berisi balok-susun. Anak-anak itu senang membangun sesuatu dari balok-susun, dan hanya dalam hitungan detik delapan anak sudah mengelilingi Jan—saling bersikutan. Lewat satu atau dua menit, seorang anak merebut balok milik anak lain. Sementara Jan berkata “Pelan-pelan,” perebutan yang sama terjadi di antara anak lain. Memperburuk keadaan, seorang anak yang sedang berlarian akhirnya menabrak susunan balok milik anak lain lagi yang telah menyusunnya sejak lama. Kondisi yang sama ini akan berulang sampai setidaknya lima kali dalam seminggu. Kekacauan tanpa akhir berkedok kebebasan.
Beberapa alternatif yang tersedia tidak bisa dikatakan revolusional, sebetulnya. Torelli dan Durrett menyarankan pengadaan serambi kecil (loft), peninggian lantai, mezanin tambahan, dan partisi. Sesungguhnya, yang terpenting adalah pembagian ruang aktif dan privat di ranah yang melibatkan anak—sekecil apa pun itu—perlu diartikulasikan dengan jelas. Di institusi yang lebih dasar lagi, seperti tempat penitipan anak, hammock memberi variasi yang menyenangkan pada ruangan, meski harus dibayar dengan pengawasan tinggi.
Sedikit sekali solusi yang ditawarkan dan lebih sedikit lagi penerapan yang telah dilakukan. Di Indonesia sendiri, kebanyakan dari institusi pendidikan dasar hanya menyediakan satu ruang utama yang di dalamnya berisi anak-anak yang berlari kesetanan, menyusun balok dengan susah payah, dan sosok-sosok ‘Jan’ lain yang berharap neraka di hadapannya berhenti berputar. Dalam eksistensinya yang paling minim, introversi bahkan membantu menjaga kewarasan.
Padahal, tidak sedikit pemikiran yang mendalam datang dari menghabiskan waktu dengan diri sendiri—ketika semua pengalaman menghamparkan diri ke hadapan satu-satunya cermin di kepala kita. Seorang teman pernah bercerita bahwa Museum Tsunami di Aceh membuatnya merasa aneh dalam cara yang belum pernah ia rasakan di tempat lain—campuran antara takut, cemas, dan bersemangat di waktu yang sama. Setiap lorong adalah pengalaman yang berbeda. Dan, semakin jauh ke dalam, ia ingin ‘mengalami’ lebih banyak lagi—putus asa, napas air, perjanjian dengan kematian, pertemuan dengan nama-nama asing, tubuh cahaya, harapan. Memang, ada beberapa pajangan seperti umumnya, tapi menurutnya, sedikit kebosanan di sana tidak mengalahkan akumulasi perasaan yang telah dan akan dilaluinya waktu itu.
Yang terpenting, setelah keluar dari sana, ia sadar dirinya tidak akan melihat tsunami hanya sebagai berita. Yang tidak ia sadari, barangkali, adalah karena lewat museum itu, ia diam-diam telah mengalaminya.
Di Indonesia, sayangnya tidak semua museum berniat membuat pengunjung merasakan sensasi itu. Beberapa dari yang pernah saya kunjungi, misalnya, tidak mampu melepaskan diri dari ekshibisi wujud. Dengan lampu sorot dari berbagai sudut, benda-benda berjejalan seolah ruangan ditata dalam beberapa menit saja. Sesekali, foto-foto muncul dalam banalitas yang sama enggannya. Barangkali, satu-satunya juru selamat adalah tulisan marah: DILARANG BERISIK.
***
Introversi dan ekstroversi memang bukanlah variabel yang mutlak dari waktu ke waktu. Kecenderungan tertentulah yang berperan dalam spektrum panjang antar-keduanya, yang sama-sama diperlukan atas nama keseimbangan yang sakral.
Tinggal di pinggiran Indonesia selama dua puluh tahun, saya sadar, tidak banyak membantu dalam berbagi waktu dengan diri sendiri. Nihil partisi sama sekali. Ada terlalu banyak agenda sosial yang harus dijalani dalam misi agung ‘mencapai kehidupan normal’ berdasarkan standar yang tidak pernah saya mengerti dibuat oleh siapa, tapi dengan naif saya ikuti juga.
Interaksi sosial adalah hal yang tidak bisa dielakkan nilai pentingnya. Akan tetapi, barangkali yang lebih penting adalah menerima bahwa dalam persinggungannya, tidak semua orang melihat interaksi sebagai titik yang sama. Maka, apakah ada nilai yang lebih mendasar dalam ‘zoon politicon’ selain mengingat keragaman itu?
Ruang komunal, seberapa pun pentingnya ia, tidak seharusnya menjadi titik gravitasi bagi produk arsitektur dalam bentuk apapun; karena tentu saja, ada ruang lain yang sama perlunya: room for only oneself—ruang untuk satu orang.
Sementara orang-orang penting berusaha mengingat hal ini, satu-satunya yang bisa saya lakukan di studio adalah menyumbat telinga sambil berpura-pura tidak ada orang lain di muka Bumi—oh, kecuali Sufjan Stevens dan Gotye yang belum berhenti bernyanyi: “MAKEOUTLIKEITNEVERHAPPENEDANDTHATWEWERENOTHING!"
Referensi:
Cain, Susan. “The Power of Introverts.” TED Talks.
Quirk, Vanessa. “In Defense of Introverts”. Archdaily.
“The Quiet Ones”. Steelcase.com.
Hague, Matthew. “Architecture for Introverts: How to Find Peace and Quiet Indoors”. The Globe and Mail.
Quirk, Vanessa. “Forming Landscapes: What Schools Can Learn from Playground”. Arch Daily.
Torelli, Louis; Durrett, Charles. “Landscape for Learning: The Impact of Classroom Design on Infants and Toddlers”
Comments