top of page
Writer's pictureNisita Hapsari

BABAK BARU

Updated: Sep 2, 2020

20 April 2020


“Oh happy people of the future, who have not known these miseries and perchance will class our testimony with the fables. We have, indeed, deserved these [punishments] and even greater; but our forefathers also have deserved them, and may our posterity not also merit the same..”

-Petrarch on the Great Plague


The Citizens of Tournai, Belgium, Burying the Dead During the Black Death of 1347-52. Detail of a miniature from The Chronicles of Gilles Li Muisis (1272-1352). Source: Wikipedia


Selamat datang di kehidupan “normal” yang baru!


Orang-orang mendekam di rumah masing-masing, tidak banyak berpergian, bahkan menolak bersinggungan. Jalan umum yang kerap kali macet di pagi hari, kini terasa lengang. Hanya satu dua kendaraan yang terlihat berlalu lalang.

Semua kegiatan sebisa mungkin dilakukan di rumah. Belajar dari rumah, bekerja dari rumah, beribadah pun dari rumah. Kelas-kelas yang biasanya memerlukan tatap muka secara langsung, kini diadakan secara daring. Gawai pintar tidak henti-hentinya bergetar. Telepon dan pesan elektronik menggantikan komunikasi langsung. Rapat mingguan dilakukan melalui panggilan video. Ibadah disiarkan streaming melalui internet supaya dapat diakses dari rumah masing-masing. Jendela-jendela dalam layar digital sepenuhnya berfungsi menjadi ruang publik utama.


Jika biasanya penyakit adalah persoalan individu, di masa pandemik ini, manusia dibuat terisolasi beramai-ramai. Keseharian monoton dengan ruang gerak yang terbatas membuat hal-hal yang sedang sulit dijangkau menjadi tampak romantis. Pertemuan dengan orang lain yang kerap kali terasa biasa, kini menjadi sesuatu yang begitu didamba. Pergi ke tempat yang menarik, acara yang menyenangkan, melihat pemandangan yang indah di luar sana, sepertinya terlalu sulit untuk dilupakan.


Bumi terlihat begitu sehat, bukan di luar sana? Emisi nitrogen dioksida di Italia, dikabarkan oleh Badan Antariksa Eropa, menurun signifikan setelah lockdown. Di Tiongkok, rata-rata kualitas udara meningkat 21,5% pada Februari 2020 dibandingkan Februari 2019. Hal serupa terjadi pula di kota-kota besar seperti New York, New Delhi, Madrid, Lisbon, hingga Jakarta. Kualitas lingkungan membaik, hewan-hewan mulai berani menampakkan eksistensinya di kawasan kota, kembali berlalu lalang di lingkungan yang dulunya mungkin pernah menjadi tempat tinggal mereka.


Lama berada di dalam membuat apa yang ada di luar sana menjadi semakin terasa mengundang untuk dipikirkan. Mengamati laju ekonomi, gerak-gerik pemerintah, angka kematian yang terus bertambah, kepanikan berbelanja yang menjangkiti banyak orang, tentu mengkhawatirkan. Berusaha mengalihkan pikiran, layar gawai pintar bergantian memperlihatkan para wanita yang saling mengoper alat dandan, adu eksistensi dengan cara menyanyi, goyang mamah muda, hingga beratraksi di dapur. Dalam perspektif yang lebih jauh lagi, akan terlihat betapa dalam masa sulit, manusia hadir untuk saling tolong menolong, menggalang dukungan bagi orang yang membutuhkan, juga mengangkat ekonomi para pengusaha lokal. Tetapi jika mengikuti perkembangan di luar merupakan hal yang penting, maka menilik ke “dalam” juga tidak kalah pentingnya.


Di satu kesempatan sekitar tahun 1945, Albert Einsten pernah berkata kepada asistennya, “Yang sesungguhnya membuatku tertarik adalah apakah mungkin Tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan dunia yang sama sekali berbeda”. Dan jawaban terbaik yang bisa ia pikirkan adalah “tidak”, karena Einstein yakin bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang hadir secara acak tanpa terkoneksi satu sama lain. Alam dan semua hal yang di dunia ini memiliki kompleksitas yang melebihi sistem komputasi.


Dibalik banyaknya perdebatan dan aksi saling tuding terhadap penyebab sesungguhnya virus Covid-19, pandemik yang telah menjadi momok di seluruh belahan bumi ini adalah bagian terstruktur dari sistem perputaran semesta. Ia hadir bagaikan bom waktu di masa anthropocene ini, sebuah masa di mana dominasi umat manusia telah menimbulkan pengaruh luar biasa terhadap seluruh aspek kehidupan, terutama pada iklim dan lingkungan. Masa yang dianggap sebagai tahun malapetaka ini akan mengubah cara pandang kita terhadap dunia.


Lompatan-lompatan baru akan terus terjadi dalam perkembangan peradaban. Manusia beradaptasi dengan kehidupan “normal” yang baru. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan mulai melihat yang sebelumnya tidak tampak, mengungkap penyelesaian dari semua kekacauan ini. Semua berdampak, semuanya terhubung. Secara kolektif, semua bergerak dari “dalam” rumah masing-masing. Ke arah mana? Belum tahu. Tapi ke arah mana pun itu, semua turut andil dalam realitas ini.

Comments


bottom of page