top of page
Writer's pictureNisita Hapsari

HAMA KOTA: SI PENGGERAK LAJU DUNIA PERANCANGAN

Sudah berjalan 6 bulan sejak kasus COVID-19 pertama kali diumumkan mulai masuk ke Indonesia. Fenomena yang tidak terduga ini telah memperkenalkan peradaban dengan fase-fase dan perputaran gerak yang baru. Istilah-istilah seperti social distancing, lockdown, PSBB, WFH, new normal, menjadi kian akrab di telinga masyarakat. Mengamati dunia dalam sudut pandang baru di masa pandemi, mau tidak mau menyadarkan kembali bahwa banyak hal yang telah disisihkan dalam laju pertumbuhan populasi manusia.


Foto perbandingan kondisi langit Jakarta sebelum dan saat masa PSBB pertama dijalankan. Sumber gambar: www.epicentrum.co.id


Perkembangan manusia dalam bidang teknologi dan infrastruktur telah banyak mengubah wajah dunia. Alam semakin terpinggirkan dan populasi makhluk hidup lainnya harus bertahan hidup di tengah semakin sempitnya habitat alami. Namun sejatinya, manusia selalu membutuhkan alam. Keberadaan spesies lain, seperti hewan dan tumbuhan, tidak dapat sepenuhnya dihapuskan sekalipun di lingkungan metropolitan.


Warga memberi makan kucing liar di kawasan Bundaran HI, Jakarta yang sepi saat masa PSBB. Fotografer: Amiriyandi. Sumber gambar: www.infopublik.id


Turut membawa spesies lain tinggal dan beradaptasi sebenarnya adalah salah satu langkah besar dalam sejarah peradaban. Manusia telah secara turun temurun melakukan domestikasi pada tumbuhan dan hewan. Berdasarkan National Geographic, domestikasi adalah proses penjinakan terhadap spesies tertentu secara selektif. Awalnya, tindakan ini dilakukan untuk memenuhi ketersediaan sumber pangan, sandang, serta di kemudian hari dijadikan sebagai bagian dari komoditas perdagangan. Secara genetik, spesies tersebut dipilih dan diajarkan untuk beradaptasi di tengah-tengah lingkungan manusia. Prosesnya memerlukan waktu yang sangat lama, puluhan hingga ratusan ribu tahun.


Salah satu hewan domestik yang kini paling banyak ditemui di lingkungan kota adalah kucing. Max Planc Institute berdasarkan penelitiannya mengungkapkan bahwa proses domestikasi kucing telah terjadi sejak 9.000 tahun yang lalu. DNA kucing purba ditemukan di Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Asia Barat. Awalnya, spesies kucing hutan tersebut ditangkap untuk dijadikan pemangsa tikus. Spesies-spesies tersebut kemudian memerlukan waktu yang lama untuk menjadi lebih adaptif di lingkungan manusia dan mampu berevolusi menjadi kucing jinak peliharaan.


Keberadaan kucing sebagai salah satu makhluk yang turut tinggal dalam lingkungan manusia, kemudian mendorong inovasi desain untuk dapat mewadahi keduanya. Titik temu yang menarik di mana dua makhluk dengan dimensi tubuh, kebutuhan, dan tingkah laku yang berbeda, dipertemukan dalam satu ruang yang sama. Selain memenuhi kebutuhan makan, minum dan perlindungan dari penyakit, yang juga perlu diperhatikan tentu saja adalah faktor kenyamanan, kebebasan berperilaku sesuai sifat alaminya, dan perlindungan dari rasa stres. Poin-poin tersebut menjadi esensial dalam menjamin kesejahteraan hewan peliharaan.



Perbandingan dimensi kucing dewasa jenis British Shorthair dengan manusia dewasa. Sumber: www.dimensions.com



Pada umumnya, kucing ada yang bersifat pemalas dan ada juga si aktif yang gemar bermain. Ada kucing yang suka tidur dan bergelung saja seharian. Namun, kucing pada dasarnya memiliki insting berburu. Permainan dan bentuk ruang yang berbeda dapat menstimulasi reaksi kucing untuk menjelajah ke sudut-sudut yang sempit, memanjat, berlari, hingga melompat. Aktivitas ini selain membantu anak bulu merasa nyaman dan mengekspresikan rasa keingintahuan, juga menjaga kesehatan fisiknya ketika aktif bergerak. Kebiasaan lain yang tidak dapat dihindarkan adalah kegemaran mencakar. Kucing seringkali melakukan kegiatan ini untuk menajamkan kuku, senjatanya dalam memanjat dan menggertak musuh. Perilaku-perilaku demikian yang menjadi inspirasi terciptanya Cat Tree atau Kitty Condo sebagai area kucing beraktivitas.



Konfigurasi Kitty Condo telah berkembang dan menjadi semakin beragam sejak pertama kali dipatenkan oleh Frank Crow pada 1968. Sumber: www.roguecart.com



Ketika perbedaan perilaku ini dileburkan dalam konteks yang sama dalam lingkungan manusia, maka tercipta kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas dalam rancangan elemen furnitur maupun interior. Tidak lagi hanya soal pemenuhan fungsi bagi penghuni manusia, peluang tingkah laku makhluk lainnya juga menjadi perhatian. Interaksi antara si pengasuh dan si hewan peliharaan menjadi salah satu aspek yang kemudian berusaha dibangun dalam pertemuan ini.



CATable, produk yang didesain oleh LYCS Architecture untuk merespon kebutuhan furnitur sekaligus mempertimbangkan dimensi kucing peliharaan. Sumber: www.lycs-arc.com


Tentu saja, aspek-aspek dasar terkait keamanan, kebersihan, sirkulasi udara, cahaya dan pemeliharaan tidak bisa diabaikan dalam konsiderasinya. Terutama apabila beberapa kucing dirumahkan dalam satu hunian, akses-akses pergerakan serta persebaran sumber makanan, minum dan tempat buang airnya perlu disusun dengan seksama untuk menghindari konflik. Hewan karnivora ini adalah makhluk teritorial. Jika hidup berkelompok dengan kawanannya, setidaknya diperlukan area sebesar 1,67 m2 untuk per ekornya agar terhindar dari stres.























Iklim perancangan dalam beberapa dekade terakhir, apabila diamati sebenarnya terus mengalami pergeseran. Dengan perkembangan teknologi pada penggarapan produk dan jasa, fokus desain tidak hanya terpaku pada kegunaan objek dan kualitas pragmatisnya. Faktor kegembiraan, kejutan dan antusiasme (Blythe & Monk, 2018) membawa spektrum desain yang semakin luas dalam tujuan peningkatan kualitas hidup (Calvo & Peters, 2014; Desmet & Pohlmeyer, 2013; Hassenzahl, 2018). Eksistensi entitas lain seperti kucing, bisa jadi adalah pemicu yang diperlukan untuk terus mendorong batas-batas itu.


Sayangnya, sudut pandang demikian secara umum malah terabaikan. Saat ini dengan mudah dapat ditemukan kucing-kucing terlantar dengan kondisi yang mengenaskan di berbagai sudut kota. Data DKPKP mengungkapkan bahwa jumlah kucing yang terdata di Jakarta sepanjang tahun 2018 mencapai jumlah 29.504 ekor. Dan berdasarkan perhitungan sederhana yang dilakukan oleh kumparan.com, pada tahun 2021 angka ini dapat meningkat hingga 2.861.326 ekor. Isu over populasi kucing menjadi momok yang diwaspadai berdampak buruk pada kebersihan dan kesehatan lingkungan. Imbasnya, masih banyak yang enggan peduli terhadap kualitas hidup spesies ini, dibuktikan dengan tingginya laporan kasus kekerasan pada hewan domestik yang diterima sejumlah komunitas pecinta satwa. Padahal, kunci awal dari terputusnya rantai permasalahan ini adalah kepedulian untuk saling menjaga dan hidup berdampingan.





Adalah manusia yang pertama kali membutuhkan keberadaan makhluk berbulu ini dalam kehidupannya. Adalah manusia yang dahulu mengukuhkan posisi spesies Feline sebagai asisten pengusir hama. Adalah manusia pula yang kini kerap kali melabelinya sebagai hama yang mengganggu dan patut disingkirkan. Merefleksikan kembali kondisi lingkungan di tengah pandemi, seharusnya memantik kepekaan baru pula bagi manusia:


Bukankah saat ini kita sendiri adalah hama terbesar bagi bumi?

Comments


bottom of page