25 April, 2020
"Ciri kota bahagia adalah warganya senang keluar rumah, bukan senang di rumah,"
-Ridwan Kamil dalam acara The 11 th Indonesia Human Resources Summit (IHRS)
Kota sebagai sebuah ekosistem mempengaruhi keberlangsungan dan kualitas hidup
penghuninya. Bahagianya masyarakat kota, ketika para pemimpin daerahnya semakin sadar untuk mewujudkan kota layak huni. Pembangunan dilakukan di sana sini untuk mewujudkan transportasi dan infrastruktur yang memadai, fasilitas umum dan sosial diperbaiki, makin banyak ruang dan tempat-tempat publik tersedia di tengah kota, sanitasi dan keindahan lingkungan semakin terjaga, juga bentuk dukungan terhadap fungsi ekonomi, sosial, dan budaya bagi warganya menjadi semakin beragam. Menurut Lennard dalam “Making Cities Livable”, dengan terpenuhinya prinsip-prinsip tersebut, sebuah kota dapat disebut sebagai kota yang layak huni.
Namun dalam kondisi saat ini, ketika dunia terserang pandemik, bagaimana menjadi warga kota yang bahagia? Ketika eksistensi warga kota tidak lagi hadir dalam titik-titik temu tetapi dipersempit dalam rumah masing-masing, bagaimana pergerakan kota bisa menyentuh kehidupan warganya? Ketika masyarakat diharuskan melakukan karantina untuk mengurangi kemungkinan penyebaran virus, prinsip-prinsip ini mengalami pergeseran. Ketika ruang-ruang fisik kota tidak lagi dihuni, semua orang berusaha melakukan adaptasi dari rumah masing-masing untuk tetap “hidup” dan terkoneksi sebagai sebuah “kota”.
Sebagai manusia sosial, interaksi antar individu tetap diperlukan untuk menjaga kewarasan di tengah kekhawatiran masing-masing terhadap kesehatan dan kestabilan ekonomi. Ekosistem kota terus berjalan, meski semua serba berjarak. Dari dalam rumah, warga memastikan “kota”nya cukup layak huni setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Koneksi internet harus tetap stabil sebagai “moda transportasi” menuju berbagai pranala-pranala di mana kita beraktivitas, baik belajar, bekerja, beribadah, atau sekedar mencari hiburan. Gawai digital dan aplikasi yang terpasang di dalamnya perlu disesuaikan agar cukup kokoh sebagai suatu “infrastruktur”, mendukung keberlangsungan ekonomi, sosial, dan budaya “warga”nya.
Tidak perlu terlalu khawatir dengan perubahan massal yang saat ini terjadi. Manusia memiliki kemampuan dasar untuk beradaptasi. Istilah yang diungkapkan oleh Charles Darwin ialah survival of the fittest. Ahli neurosains menyebutnya sebagai brain plasticity, kemampuan otak melakukan modifikasi terhadap struktur dan fungsi untuk mengikuti perubahan dari dalam maupun luar tubuh. Buktinya, perubahan wujud interaksi ini tidak membuat aktivitas manusia sepenuhnya terhenti.
Coba kita tengok bagaimana pusat-pusat perbelanjaan mengatur strategi baru ketika tidak diperbolehkan untuk beroperasional secara fisik. Jika di hari-hari biasa mal dikemas untuk one stop shopping, di mana kegiatan perbelanjaan diakomodasikan dalam satu tempat, maka ketika penutupan bangunannya diberlakukan, mal hadir dalam wujud aplikasi dan situs-situs belanja yang bisa diakses oleh banyak orang dari layar masing-masing. Sejauh sentuhan jari, pelanggan bisa berpindah toko dalam sepersekian detik. Jika sebelumnya toko-toko berusaha menarik pengunjung dengan desain interior dan penataan sedemikian rupa untuk menampilkan produk-produk terbaiknya, kali ini desain antarmuka situs-situs daring yang berlomba-lomba melakukan pemasaran digital melalui berbagai bentuk visual.
Konsep one stop shopping tidak lagi terbatas dalam rupa bangunan, tetapi hadir dalam wujud data. Ungkapan Winston Churcill bahwa manusia membentuk bangunan dan kemudian bangunan membentuk manusia di dalamnya, terwujud kembali dalam sistem gelembung filter (filter bubble). Algoritma dalam jaringan situs secara selektif menyusun informasi berdasarkan identitas, lokasi dan perilaku pengguna selama berselancar di internet. Bagaikan simpul, algoritma tersebut kemudian mempengaruhi budaya pengguna dalam menemukan informasi sesuai preferensi tiap individu. Berbelanja produk tertentu akan menghantarkan pengguna kepada penawaran-penawaran lain yang dianggap sesuai dengan preferensi.
Lebih jauh dari persoalan berbelanja, pertemanan dan pertemuan di dunia maya kemudian saling mempengaruhi gelembung masing-masing orang. Bersama-sama “hadir” dalam kelas online, menonton pertunjukan, kemudian saling tag dalam eksistensinya di dunia maya, membuat budaya antar gelembung saling terkoneksi dalam konstruksi besar bernama internet. Segala argumen virtual yang dilontarkan juga memiliki potensi terhadap respon-respon berkelanjutan, tanpa disadari turut membangun arah pergerakan sosial, ekonomi, dan budaya. Mari kita ingat-ingat, bagaimana staf khusus kepresidenan kemudian memutuskan turun dari jabatannya, aksi provokasi oleh peretas yang mengakibatkan ditangkapnya seorang aktivis, bukankah peristiwa-peristiwa virtual juga punya
andil terhadap terjadinya kondisi tersebut?
Ketika semua jejak tertangkap dalam data, keamanan menjadi hal yang begitu krusial. Tidak seperti pencuri yang masuk ke rumah untuk memperoleh barang-barang tertentu, peretas yang mendapatkan “kunci” menuju gudang data, bisa mendapatkan semua akses yang dibutuhkan bukan hanya untuk memperoleh keuntungan materi, tetapi juga kesempatan untuk mengacak-acak struktur, berpengaruh dalam jaringan yang pernah terkoneksi.
Orang-orang yang beraktivitas dari rumah masing-masing dan memiliki akses sebagai “warga kota” turut berperan dalam mewujudkan “kota layak huni” demi kenyamanan masing-masing penghuninya. Persoalan kota tidak pernah terbatas pada apa yang tampak di permukaan. Seperti abstraksi dari sebuah jaringan dan proses yang kompleks, ekosistem ini akan terus bertumbuh dalam berbagai wujud.
Apapun bentuknya, peradaban akan selalu membawa persoalan-persoalan baru, hingga wacana layak huni tidak hanya akan bergantung pada kebijakan pemegang kuasa. Yang perlu kita pikirkan selanjutnya adalah: sudahkah rumah yang kita tinggali “layak huni” dalam standar kehidupan masa kini? Dan sudahkah tubuh yang kita “tinggali” ini kemudian disebut “layak huni”?
Comments