“PAKET!”
Sahutan demikian makin sering terdengar beberapa waktu belakangan ini. Genap sudah 2 bulan mendekam di dalam rumah, rasanya telinga semakin peka terhadap panggilan serupa. Semenjak pemerintah menetapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), suara kendaraan melintas memang bisa dibilang jauh berkurang. Tetapi kehidupan berjarak rupanya telah mendongkrak aktivitas lainnya. Layanan pesan antar memperbanyak armada kurirnya demi memenuhi semua permintaan pengiriman.
Tercatat sejumlah perusahaan jasa pengiriman barang mengalami kenaikan aktivitas pengiriman hingga 80% setelah virus Corona menyebar di Indonesia. Tentu saja tingginya permintaan di masa seperti ini juga sangat terbantu dengan adanya teknologi internet. Sebagian besar transaksi dilakukan secara daring tanpa harus bertatap muka langsung. Terpantau 60-70% transaksi pengiriman berasal dari perusahaan e-commerce.
Di zaman ini, ketika teknologi telah membuat kita mampu mendeteksi kedatangan transportasi umum secara presisi, juga membaca ramalan cuaca sesuai lokasi terkini, semakin mudah pula bagi sistem layanan antar untuk melacak keberadaan barang. Selain itu, kurir juga dimudahkan dalam mendeteksi tujuan pengiriman. Berbekal gawai pintar, masing-masing tukang antar sudah dapat membaca navigasi menuju titik tujuan.
Sampai di depan pagar, memastikan alamat sesuai, panggilan khas tersebut diserukan:
“Paket! Permisi, paket!”
Jika beruntung, sang pemesan akan segera keluar dan mengambil antaran yang ditujukan kepadanya. Sebaliknya jika tidak beruntung, pemilik paket bisa jadi tidak segera muncul meski sudah dipanggil berulang kali. Sudah dikontak melalui nomor telepon yang tertera, tidak juga kunjung tersambung. Atau, alamat pengiriman tersasar ke rumah lainnya dan tidak ada yang mengenal nama tertera. Dalam keadaan demikian, agen pengantar mau tidak mau harus membawa kembali paket tersebut ke gudang perusahaan. Kemungkinan lain, petugas akan diminta untuk mencoba kembali peruntungannya, mengantar barang yang bersangkutan di lain waktu.
Memang, bisa jadi waktu pengantaran secara tidak terduga dilakukan tepat di saat si penghuni dalam keadaan sibuk. Namun, banyak dijumpai pula keluhan-keluhan ketika barang dikembalikan ke gudang, padahal pemiliknya mengaku sudah menunggu di rumah. Jika sedemikian sulit bagi kita untuk mendengar seruan petugas pengiriman barang, bisa jadi sesusah itu pula bagi penghuni sekitar untuk mendengar, ketika pertolongan dibutuhkan dalam masa genting.
Kepekaan akan hadirnya manusia-manusia lain dalam kehidupan fisik, perlahan-lahan terkikis. Yang hanya berjarak satu sentuhan di layar digital, kian dipahami sebagai realitas. Jauh dan dekat adalah abu-abu hingga kultur bermasyarakat turut mengalami pergeseran.
Sebelum pandemik melanda dunia, terkotak-kotaknya ruang sosial menjadi permasalahan. Pagar dan jarak menciptakan sekat antara individu dan publik. Dinyatakan oleh Blakely dan Snyder (1997), sejak tahun 1980-an, jutaan keluarga di Amerika telah tinggal di komunitas berpagar dan terindikasi hingga kini, semakin bertumbuh secara global sebagai kecenderungan bagi pembentukan permukiman. Bukan hanya teritori kepemilikan individual yang berusaha didefinisikan dalam komunitas berpagar, tetapi juga pengelompokan masyarakat tertentu. Di Indonesia, rekayasa spasial ini dibangun dengan dalih membatasi diri dari persoalan sosial dan keamanan lingkungan.
Dampaknya, frekuensi bertegur sapa antar warga semakin menurun. Jangankan menyapa, bisa jadi namanya pun tidak ingat.
Di masa ini, interaksi sosial berpindah ke ruang-ruang maya. Rukun Tetangga (RT) telah membentuk grup percakapannya melalui aplikasi obrolan daring. Lalu, apakah ketika serangan virus ini telah berlalu, kehidupan bermasyarakat via digital dapat menjadi struktur sosial yang utama?
Seperti halnya kebutuhan terhadap layanan pengiriman barang, hal-hal fisik yang esensial akan terus dibutuhkan keberadaannya. Industri pangan tetap membutuhkan tenaga operasionalnya, begitu pula tenaga medis. Bisa kah pasien dalam keadaan sekarat mendapatkan perawatan yang dibutuhkan, jika tidak ada orang yang mengetahui kondisinya dan membawanya ke rumah sakit?
Tidak. Setidaknya untuk saat ini. Hingga tiba saatnya para petugas kesehatan mampu bekerja jarak jauh dengan gawai pintar dari rumah masing-masing, rasanya cukup bijak jika Anda terlebih dahulu memastikan penghuni rumah di kanan kiri sadar bahwa tetangganya ini sungguh nyata dan eksis di dunia. Mulai dari sekedar tahu namanya, mungkin?
コメント