top of page
muhammadhasby

PELAJARAN DARI RUMAH SUSUN

Updated: Sep 2, 2020

Belajar tentang arsitektur seringkali terasa membingungkan bagi saya yang baru menginjak semester 6 bangku perkuliahan. Rasanya, ada begitu banyak spektrum, atau kalau boleh, bisa dibilang sebagai “kubu-kubu” yang memuja sudut pandang arsitek ini dan itu. Forum dengan wacana untuk mendiskusikan arsitektur, kebanyakan akan berujung pada bahasan untuk membandingkan mana yang lebih baik secara estetika, mana yang desainnya paling baik bagi si pengguna, atau paling benar pada konteks yang digunakan. Pada akhirnya, saya tetap bertanya-tanya, bagaimana sebuah bidang ilmu “arsitektur” bisa memiliki begitu banyak aspek di dalamnya? Lalu, bagaimana seluruh aspek tersebut kemudian berusaha diwujudkan oleh si arsitek?


Merefleksikan apa yang telah saya pelajari selama mendalami bidang ilmu arsitektur,

mengingatkan kembali pada pengalaman ketika mengikuti sebuah workshop dengan teman-teman dari Arsitek Komunitas (ARKOM) Solo pada 2018. Gerakan peremajaan di wilayah kumuh sedang gencar-gencarnya pada saat itu. Warga yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut telah menempati area yang sebenarnya tidak diperuntukkan sebagai daerah permukiman. Dengan adanya penggusuran, penduduk akhirnya direlokasi ke sebuah rumah susun yang telah disediakan pemerintah. Dibuat dengan mempertimbangkan kuantitas warga yang hendak difasilitasi, rumah susun 4 lantai tersebut diharapkan bisa menjadi solusi terbatasnya kesediaan lahan tinggal bagi masyarakat menengah ke bawah.


Sayangnya, upaya penataan tersebut pada kenyataannya seringkali menimbulkan kesulitan- kesulitan lain. Seorang ibu yang sebelumnya mendapatkan penghasilannya dari berjualan di toko, mengaku tidak bisa kembali bekerja karena tidak lagi memiliki tempat untuk menjajakan dagangannya. Begitu pula dengan bapak-bapak yang mengoperasikan usaha bengkel di garasi rumahnya, mereka tidak lagi memiliki ruang kosong untuk menjalankan usahanya.


Di sisi lain, permasalahan yang kerap kali muncul adalah tidak terwadahinya kebiasaan atau budaya masyarakat setempat. Masyarakat di Kampung Semanggi, Solo, terbiasa berkomunal atau mengadakan forum diskusi warga, seperti PKK atau pun Karang Taruna. Di tempat tinggal barunya, kegiatan-kegiatan tersebut terpaksa harus berhenti dilakukan atau jika dijalankan, tidak bisa diikuti oleh banyak warga karena keterbatasan tempat. Belum lagi dengan permasalahan sirkulasi manusianya. Dengan mempertimbangkan efisiensi penggunaan lahan dan biaya, tangga digunakan sebagai sistem transportasi utama dalam bangunan. Namun, keputusan desain tersebut akhirnya menjadi kendala terutama bagi warga yang lanjut usia dan memiliki keterbatasan fisik.


Arsitektur rupanya tidaklah sederhana. Bukan hanya soal menyelesaikan satu permasalahan, tetapi juga perlu mempertimbangkan berbagai turunan masalah lainnya. Belajar dari rumah susun, konteks lain mengenai kompleksitas permasalahan arsitektur kembali saya temui saat saya diminta untuk menilik kasus Pruitt-Igoe dalam sebuah percakapan di kantor. Disebut-sebut sebagai kegagalan arsitektur modern yang gaungnya masih sering didengar hingga saat ini, Pruitt-Igoe adalah sebuah super blok rumah susun yang didedikasikan untuk masyarakat kelas menengah di St. Louis, Missouri. Sebuah inovasi dari arsitek Amerika-Jepang, Minoru Yamasaki, yang direalisasikan sebagai wujud wacana pemerintah mengenai pengadaan rumah rakyat sewa rendah.


Pada masa itu, sedang digalakkan pula kebijakan urban renewal atau peremajaan kota. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan wilayah kumuh dengan menata kembali sebagian atau keseluruhan wilayah tersebut sesuai potensi kotanya. Pusat kota yang menarik dapat mendatangkan profit dan pajak yang dibebankan bisa semakin tinggi. Isu rasisme yang masih marak terhadap masyarakat kulit hitam, juga mendorong didirikannya sebuah tempat tinggal bertingkat yang jauh dari pusat kota untuk “membersihkan” area-area kumuh. Urban renewal hampir tidak memberi ruang untuk kembali bagi warga yang tergusur. Lahan diberikan kepada developer yang akan membangun perumahan mewah untuk kalangan menengah ke atas, bangunan komersial, ataupun zona-zona publik.


Selesai dibangun pada tahun 1956, Pruitt-Igoe digadang-gadang sebagai penthouse untuk “si miskin”. Hunian modern dengan fasilitas listrik dan air ledeng sangat berbeda dari rumah kumuh yang dahulu mereka huni. Diharapkan sebagai pengganti hunian yang nyaman, Pruitt-Igoe justru ditinggalkan penghuninya dengan sangat cepat. Pada masa awal berdirinya rusun tersebut, rumah yang tidak berpenghuni masih tersisa 9%. Hingga pada akhirnya pada tahun 1970, rumah sewa yang kosong meningkat hingga 65%. Selain karena banyaknya faktor eksternal dari dinamika politik hingga ekonomi, pembangunan Pruitt-Igoe cenderung tidak responsif terhadap konteks sosial masyarakat yang tinggal di sana. Usaha untuk menyatukan kembali wilayah tinggal masyarakat ras kulit hitam dengan kulit putih, justru gagal total. Warga kulit putih masih enggan untuk disandingkan denganorang-orang kulit hitam.


Pemeliharaan bangunan amat bergantung pada jumlah biaya sewa yang dibayarkan

penghuni. Semakin sedikitnya jumlah penghuni menyebabkan beban biaya perawatan bangunanmenjadi semakin besar. Semakin banyak yang tidak mampu membayar, kondisi rusun menjadi semakin tidak terawat. Plafon bocor, lift macet, sampah pun tampak di mana-mana karena rusaknya sistem pembuangan sampah dalam gedung tersebut. Dengan kondisinya yang memprihatinkan, Pruitt-Igoe menjadi sebuah rusun yang lekat dengan kata kriminalitas, kemiskinan, rasialisme dan segregasinya. Hingga pada 16 Maret 1972, penghancuran pertama bangunan di Pruitt-Igoe tak terelakkan.


Arsitektur tidak pernah lepas dari berbagai pertimbangan di dalamnya. Bukan hanya soal membuat “kulit” yang baik, atau juga bukan hanya soal “desain”. Arsitek bukan lah Tuhan yang dapat mengendalikan semua aspek. Butuh dukungan dari banyak disiplin, pengembang, pemerintah, maupun kesadaran pengguna agar sebuah bangunan dapat menjadi unsur yang selaras dalam ekosistemnya.


Seperti halnya seporsi taco bulgogi yang saya santap pagi ini, banyak “isi” yang tidak bisa dianalisa hanya dari melihat kulit luarnya saja. Menjadi arsitek yang baik tidak melulu soal keberhasilan mewadahi kegiatan pengguna, atau membangun estetika. Aspek sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam prosesnya. Setiap kasus memiliki porsi permasalahannya masing-masing. Substansi dalam tiap-tiap arsitektur punya “piring”nya masing-masing. Sepiring arsitektur, selamat menikmati!

Comments


bottom of page