01 Mei 2020
Saya rasa kultur tanah Jawa lebih banyak mengapresiasi peliharaan hewan burung ketimbang daerah lainnya, pun hewan lainnya. Setidaknya, dibandingkan tempat-tempat di mana saya pernah tinggal sebelumnya. Dalam 6 tahun terakhir saya di sini, pemandangan burung dara yang dilepas, lengkap dengan dirijen yang menepukkan tangannya di pinggir jalan, merupakan visual yang lazim di perempatan jalan.
Buat saya, interaksi yang lebih dekat lagi dengan burung, justru malah terjadi di dalam site. Pak De, yang merupakan tetangga sekaligus paman dari mas Riko (pekerja konstruksi lainnya), memelihara beberapa ekor burung dalam rumahnya. Kutilang di dalam sangkar yang digantung di teras rumah, adalah ingatan yang tak luntur sejak pertama kali kami datang pada pertengahan Februari. Setidaknya sudah 2 bulan selama proyek ini berjalan, dan saya baru mulai memperhatikannya lagi..
Sepengelihatan saya, di kota ini burung peliharaan sejatinya mempunyai 2 nasib, yaitu ada burung yang hampir pasti bisa mendapatkan kebebasan terbang sesaat pada sore hari, dan ada pula burung yang akan menghabiskan waktunya kebanyakan hanya didalam kandang, seperti burung kutilang ini milik Pak De.
Saya berkunjung kembali ke site hari ini dengan rencana diam-diam mengamati kandang tersebut. Dan benar saja, hari ini burung kutilang coklat itu masih belum beranjak dari kondisi terakhir yang saya ingat. Ia masih banyak berdiam diri di dalam kasa kerangkeng hijau yang ditaruh seadanya. Hal ini semakin memperjelas bahwa di situasi sulit seperti ini, ia bukan lagi prioritas.
Saya kembali memantau pekerjaan konstruksi hingga pada akhirnya saya menyadari ada yang berbeda. Tarikan pacul mas Asah yang kurang bergairah, senyum tipis Pak Darmaji sambil mengaci. Yang paling kontras, mungkin pemandangan Pak Imam dan Pak Zain yang terlihat seperti orang tanpa arah dengan potongan rambut baru gaya botaknya. Hanya senyum mas Mail yang masih selalu terjaga, yang untuk itu saya juga tidak tahu kenapa. Fakta bahwa mereka tidak dapat meninggalkan Surabaya seakan ikut melarutkan semangat kerja mereka. Khususnya, untuk regu tukang asal Banjar yang telah merantau lebih dari 2 bulan, dan belum kembali lagi ke kampung halaman untuk sejenak menengok keluarga. Saya sendiri juga tak dapat membantu banyak karena pada dasarnya, saya pun terperangkap di sini. Saya hanya dapat memberi pengertian dan selalu berharap pada Mas Sigit dan Mas Riko untuk setidaknya menyiapkan perayaan kecil di antara kami saat Hari Raya nanti.
Setelah berpamitan pulang dan langsung bergerak menuju mobil, saya mencuri pandang lagi ke belakang. Masih dengan pikiran yang hilir mudik, saya tidak dapat menerka apa yang mereka pikirkan. Mungkin saja dibalik senyum tipis mereka ada sumpah serapah dan umpatan dalam hati. Mungkin juga, tidak. Dalam perspektif saya dari gang sempit di tengah rute perjalanan pulang ini, mungkin mereka (atau saya) juga tidak ubahnya seperti burung kutilang, yang harus menerima untuk menggadaikan kebebasan mereka sekali lagi, demi pekerjaan di Surabaya.
Yah, apapun itu, semua orang punya kerangkengnya masing–masing atas tujuan hidupnya. Toh sebebas–bebasnya burung terbang di sore hari, ia tidak akan pernah mencapai Venus karena terpenjara dalam kerangkeng bumi.
Selamat satu mei dua ribu dua puluh, dalam masa pandemi di Kota Surabaya.
Selamat hari buruh.
Commentaires