top of page
Writer's pictureHilman Prakoso

TIGA GELAS RASA

Updated: Sep 2, 2020


SEGELAS AMBISI


Dari dulu, gue dijuluki petualang kecil yang cermat karena senang menjelajah dan ingat semua objek, meskipun hanya dilalui sekelebat. Ketika gue tiba di kota ini 3 tahun lalu, sebuah cita-cita kecil muncul. Ingin meniti setiap ujung gang kotanya hingga tamat. Ingin mengamati setiap detail sudut kotanya dengan lekat. Tapi apa daya, waktu itu gue belum punya apa-apa. Ya kali harus jalan kaki keliling kota. Sekarang, kalau gue boleh berdiri di sini, di bangku panjang yang melintang di atas deretan sepeda yang terparkir rapi, gue bakal lakuin. Kalau gue boleh teriak di tengah keramaian kafe ini, gue bakal lakuin. Gue akan berdiri menyulangkan segelas jus campuran jeruk dan belimbing ke udara, mengajak semua orang berpesta. Gue mau kasih tahu sama semua orang yang ada di sini. Semua orang yang ada di kafe ini: termasuk dia yang lagi ngantri beli jus buah, dia yang lagi duduk berduaan sama pacarnya minum segelas jus bersama, dia si mas-mas bercelemek hitam yang lagi bikin jus buah. Gue mau mereka semua tahu, kalau hari ini gue mulai mewujudkan cita cita gue. Mengelilingi kota ini, dengan sepeda baru yang gue beli pakai tabungan hasil kerja dari pagi ke pagi. Gue mau mereka semua ikut merayakannya. Mereka semua berhak tahu, mulai sekarang kota ini punya pengintai yang akan menembus setiap sudutnya dan mengamati setiap pojok gangnya dengan bersepeda. Dan pengintai itu adalah gue!






SEGELAS RUTINITAS


Ini hanya sebuah Sabtu biasa pada bulan September pekan kedua. Udara yang berhembus juga yang biasa. Masih sama dengan pekan lalu, masih mengantarkan oksigen ke lubang-lubang nasal kita. Langitnya pun juga langit biasa, yang selalu mulai menjadi kuning karena siraman matahari dari sisi barat sedikit ke utara. Semesta berjalan biasa sebenarnya. Hanya saja, hari ini adalah pengulangan ke- 25 kalinya. Hari yang sama saat saya muncul ke dunia ini. Jadi, tak ada salahnya saya melakukan perayaan kecil pada sebuah hari yang biasa.


Saya sengaja memilih tempat ini, kedai yang biasa saya kunjungi setiap akhir bulan. Jus campuran pisang dan stroberi yang creamy diberi sedikit madu. Itu menu yang saya biasa pesan. Bahkan, pramusaji bercelemek hitam yang melayani sudah terbiasa dan hafal tanpa perlu saya katakan apa pesanannya. Saya duduk di tempat biasa, di ujung bangku, bersandar pada partisi transparan. Sebuah perayaan kecil pada hari biasa. Kenapa? ‘Apa tak ingin yang melakukan yang spesial di hari spesial?’ kata mereka. Apa spesialnya kalau sudah biasa dirayakan. Lama lama juga akan jadi biasa.





SEGELAS PENANTIAN


Kalau hujan turun deras malam ini pun, aku tak apa. Tubuhku sudah terlanjur basah bahkan hanyut dalam kesedihan bersama remang yang menginjak gulita. Kalau angin bertiup kencang malam ini pun, aku tak apa. Rasaku sudah terlanjur terbang bersama bayangmu yang kian menghilang. Sekelumit ragamu hanya bisa ku kenang dalam segelas jus yang biasa kau pesan. Kau bilang, kau suka karena rasanya manis dan sedikit masam. Sekarang, aku mengecap rasa yang sama. Kau telah menghadirkan rasa yang sama dengannya. Kau selalu hadir dengan senyum yang tersimpul manis, membuatku rian. Hingga suatu ketika, rautmu berubah masam dan berkata untuk kita tak ada lagi jalan terang.


Kini, aku hanya bisa menanti dengan setitik harap. Menanti agar kau hadir dalam batas pandang mata untuk menepati janji yang telah kita pegang. Aku akan menanti hingga tempat ini menjadi lengang. Aku akan menanti hingga lampu kehilangan terang. Aku akan menanti hingga hanya aku yang duduk di bangku panjang. Aku akan menanti hingga pria-pria bercelemek hitam di balik dinding polikarbonat berhenti meneriakkan: “Selamat datang!”. Aku akan menanti hingga salah satu dari mereka berkata: “Maaf mas, ini sudah waktunya kami pulang”.




Ilustrasi oleh Dimar Utama

81 views

Comments


bottom of page