top of page
Writer's pictureNisita Hapsari

YANG PENTING FOTO, KARYANYA BELAKANGAN

Updated: Sep 2, 2020

“Permisi. Karya bola warna-warni yang sempat viral untuk foto-foto itu, ada di sebelah mana ya?”


Begitu kurang lebih pertanyaan yang kerap kali terdengar dari beberapa pengunjung pameran. Pengalaman yang banyak ditemui juga oleh sesama asisten museum yang bekerja untuk salah satu ruang seni di Jakarta. “Bola warna-warni”, “viral”, dan “untuk foto”. Kata-kata kunci yang jika disederhanakan, bisa diartikan demikian: siapapun senimannya, saya ingin foto di situ juga untuk bahan posting di media sosial!


Tidak dapat dipungkiri, museum telah mengalami pergeseran makna bagi sekelompok orang. Fenomena destinasi wisata yang menamakan diri sebagai “wisata selfie” atau “museum instagrammable”, kian marak dalam 10 tahun terakhir. Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran media sosial. Tidak hanya mempengaruhi perilaku individu, industri juga turut mengikuti arus perkembangan teknologi ini.


Jika dirunut kembali awal mulanya, tren ini mulai menampakkan potensinya sejak Friendster diluncurkan pada 2002. Orang-orang yang sudah bisa menikmati akses internet, terpacu untuk mengumpulkan teman dan membangun relasi dari dunia maya melalui keberadaan jejaring pertemanan daring. Alternatif lain turut menyusul juga dengan kemunculan MySpace, Flickr, Facebook, dan Twitter di tahun-tahun berikutnya. Hal ini didukung pula dengan teknologi komunikasi yang semakin mutakhir. Di tahun yang sama dengan hadirnya Friendster, produsen produk teknologi Nokia meluncurkan telepon genggam yang dilengkapi kamera VGA. Meskipun belum mendukung perekaman video, perilisan Nokia 7650 tersebut kian mendorong tren berbagai gawai dengan kamera hingga tahun-tahun berikutnya. Hingga pada tahun 2007, perusahaan Apple mengeluarkan iPhone generasi pertama. Sejak saat itu, mobile photography mulai mendapat perhatian khusus. Kamera di telepon genggam tidak lagi dipandang sebagai fitur tempelan belaka. Pertukaran informasi menjadi semakin mudah dilakukan dalam satu perangkat.


Instagram dirilis pada tahun 2010 dan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Pengguna dapat mengaktualisasi diri dengan mengunggah foto dan video yang dapat diedit dengan berbagai pilihan filter-nya. Interaksi diwujudkan melalui tombol like, berkomentar melalui kolom komentar, maupun mengirimkan pesan antar pengguna. Tagar dan keterangan lokasi juga dapat ditambahkan dalam deskripsi gambar untuk mempermudah pencarian. Dengan berbagai fitur dan tampilan antarmuka yang lugas, Instagram berhasil menarik perhatian pengguna internet. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultasi Digital L2 Think Tank, Instagram telah menjadi media pemasaran yang lebih efektif dibandingkan pendahulunya, Facebook (Landsverk:2014).


Interaksi melalui media sosial telah dipahami sebagai hal yang normal bagi penduduk dunia. Teknologi bukan lagi sekadar perangkat untuk bekerja. Lebih dari itu, orang-orang hidup berdampingan dengan cepatnya arus informasi yang beredar. Di masa kini, substansi yang mewujudkan visi, menjadi kian kabur. Gawai dengan fitur kamera telah menjadi hal lumrah dalam keseharian. Gambar digital menjadi begitu mudah diproduksi dan diedarkan. Apa yang terlihat dalam layar, apa yang tampak menarik bagi mata, telah membangun konstruksi budaya visual dalam masyarakat. Baudrillard memandang gejala ini berkontribusi terhadap aktivitas konsumsi yang dilakukan bukan karena alasan kebutuhan. Tetapi, menjadi terasa perlu karena alasan-alasan simbolis: kehormatan, status, dan prestis.


Istilah instagrammable menjadi daya tarik yang menggiurkan. Meninggalkan jejak digital melalui tangkapan lensa optis. Eksistensi diri seakan nyata bagi audiens akrab di dunia maya. Apalagi, saat ini tingkat interaksi menjadi semakin tinggi dengan adanya fitur story. Tak perlu khawatir lagi memilah foto atau video untuk diunggah. Sebanyak apa pun, otomatis akan langsung terhapus dalam 24 jam.


Industri terutama dalam bidang pariwisata, berlomba-lomba memanfaatkan fenomena ini untuk melakukan promosi, mengolah strategi bisnis, hingga riset pemasaran. Tempat-tempat wisata berusaha menyajikan dekorasi terbaik untuk memenuhi minat masyarakat terhadap latar estetis. Museum sebagai salah satu destinasi yang sarat akan nilai-nilai edukasi, rupanya turut menjadi sasaran empuk bagi perilaku ini.


Sesungguhnya, minat berfoto ini turut berdampak baik dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang ke museum. Makin banyak pula yang setidaknya berusaha mencari tahu. Industri kreatif juga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh dukungan dan apresiasi positif.


Di sisi lain, tumbuh bisnis baru untuk menyediakan zona berfoto ria dan menamakan diri dengan sebutan “museum”. Beberapa tempat wisata bahkan tidak segan-segan melakukan plagiarisme terhadap karya-karya rupa yang dianggap telah menjadi tren dalam komunitas digital. Padahal, koleksi benda yang dikonservasi museum sejatinya merupakan produk kekayaan intelektual. Ada kedalaman muatan yang bukan “hanya” dibuat dengan mempertimbangkan impresi visual belaka. Dan bila kita berhenti membaca dan merasa, apa yang berusaha dikejar dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya foto diri dalam berbagai latar dan pose?


Dalam mitologi Yunani, Narcissus pada akhirnya tenggelam saat berusaha menggapai refleksi dirinya di permukaan danau. Apabila ia kembali di era informasi ini, bisa jadi nasibnya berbeda. Begitu pekanya Narcissus terhadap estetika, sehingga ia akan berusaha meminum habis air di danau tersebut. Mengakhiri hidupnya dengan perut yang buncit akibat mabuk visual.

Comments


bottom of page